Hayoooo, di 2014 gini siapa yang masih punya diary? :)
Sepertinya, blog ini bakalan jadi diary resmi saya. Hehehe.... abisan kemarin ada yang nantangin "nulis status wae di facebook moal matak jadi duit, Fa...." bwahahaha. Dia berhasil memotivasi saya untuk lebih banyak menulis. Sayangnya blog ini berbeda dengan diary masa kecil saya. My little red book, bebas mau maki-maki orang yang saya sebel, ceritain yang bagus-bagus tentang orang yang saya suka, dan akhirnya sebel lagi ketika akhirnya patah hati. An ordinary cycle of love and life. Tuh ya buat kamu yang pertama kali patah hati, dengerin nasehat orang dewasa. Nanti juga kamu sembuh, ketemu lagi orang yang lain, nah, mendingan langsung saja diresmikan. :) Percuma tau nunggu lama-lama kalo akhirnya ngga jadi juga. (ih, kenapa cerita lu harus jadi teori, Fa? LOL) But I do miss my diary. Ada tiga versi saya dalam setiap diary. The dark side of me, the white side of me, and me. Terjebak di antara keduanya. :) terjebak di sini maksudnya, saya tau final destination saya jadi orang yang lebih baik lagi setiap harinya, tapi dalam proses menuju kesana saya masih suka konyol, masih suka lebay, masih suka stupid, yang makin menjauhkan saya dari tujuan saya semula. Itu fungsinya si white side of me tadi. To wake me up, bring me to the reality. But I still miss my diary. Tempat di mana saya bisa jadi saya. I miss the old me, gak semuanya sih, sebagian aja. Hehehe. Periode dimana ngga satupun yang dapat melemahkan saya akan apa yang saya percaya. :) Tapi, diary itu salahnya suka diam saja. Bahkan di saat saya menggila sekalipun. Ngga pernah protes. Gak ngingetin kalo itu salah, iyalah Fa, kan itu cuma buku. Makanya, diary nya dipindah kesini aja deh. Catatannya alfa, tentang semuanya. Dulu ceritanya, ada seorang lelaki, yang jatuh cinta kepada saya versi buku dan google. Waktu itu saya tertawa, dan meminta maaf kepadanya. Maaf, itu bukan saya yang tulis. Ada seseorang yang menuliskan untuk saya, itu saya yang dia inginkan! Lelaki yang menuliskan tentang saya, versi dia, yang dia inginkan dari saya. Dan kemudian saya menebus kesalahpahaman itu dengan mengizinkan dia mengenal saya, dari saya, versi saya. :) Lelaki yang menceritakan tentang saya versinya itu adalah Daddy. Sampai kapanpun, di matanya, saya adalah putri kecilnya yang itu *menelan ludah, ada banyak waktu dimana saya mengecewakanmu, Dad* Lelaki yang jatuh cinta pada saya versi risetnya dia itu adalah suami saya sekarang. :) Lelaki yang saya pernah harapkan akan menjauh karena versi nyata saya berbeda sama sekali dengan apa yang dia baca. Yang kepadanya, didepannya, saya berusaha untuk menjadi semenyebalkan mungkin yang saya bisa. Dan dia bertahan. Lucu. Karena akhirnya saya kebingungan, beneran ya ada yang bisa menerima saya yang seperti ini. Itulah saat dimana saya menjawab ajakannya untuk bersama dengan sebuah ide tentang pernikahan. Sebuah moment, yang selalu menarik untuk dikenang. I will try to be my self here. Coz I do miss my diary. A lot.
0 Comments
Gak ada satupun link mengenai si jilbab gaul - maaf saya gak minat mempopulerkan istilahnya - yang pengen saya share di timeline ini.
Manusia hidup itu cari apa sih? Berusaha untuk menjadi lebih baik, kan? Ada ga yang langsung ujug-ujug baik? Ujug-ujug sempurna? Alhamdulillah kalau teman-teman termasuk yang demikian, saya ikut berbahagia untuk Anda. Kepada beberapa sahabat yang sedang menguatkan diri untuk hijrah dan bertanya, cerita saya gini "Dulu saya pikirpun saya gak akan pernah mau pakai sebelum merasa pantas. Lalu kemudian saya berpikir, bagaimana jika saya kemudian gak pernah merasa pantas? Dan saya pun membalik logikanya. Jadilah. Digugurkan dulu kewajibannya, mari kita mulai memantaskan diri." Apakah itu mudah? Ya tidaklah. Tidak seperti Roro Jonggrang yang membangun Tangkuban Perahu dalam semalam, eh.... Lewat banyak proses lebay, dan sampai sekarang pun Alhamdulillah saya tidak pernah merasa sempurna. Jadi kalau adik perempuannya, anak gadisnya, anak tetangganya, anak saudaranya, atau malah anaknya siapa yang Anda juga gak tahu, kemudian mengenakan -jilbab yang tak pantas-, pantas gitu beritanya disebar-sebarkan? Kalau memang perduli, dan tujuannya mengingatkan kerabat dekat kita, ingatkan langsung ke orangnya (jangan lewat socmed juga keleus, itu mah namanya pengumuman). The rule is so simple. Kalau kemudian jadi ada yang membuka hijabnya, saya juga jadi gak aneh. Kan emang beberapa dari kita juga suka ngomong "Mending gak pake daripada begitu...." You got what you ask, my friends.... Mari kita sama-sama mendoakan mereka-mereka yang fotonya dipajang tanpa izin itu, agar menjadi lebih baik lagi. Oiya, saya pun yakin beberapa dari teman gak bermaksud menyebarkan foto, hanya ingin share beritanya saja. Pesan saya, thumbnail bisa di edit. Bisa tanpa thumbnail. Tapi tetap saja itu tidak menolong untuk tidak mempopulerkan istilah itu. #menolakmempopulerkan Ngajak anak ke kondangan tuh ya, harus siap mental! Pulangnya, pasti banyak pertanyaan. Makanya orangtua jaman sekarang harus pinter, pertanyaan anak sekarang ajaib-ajaib. Bikin speechless, gak bisa jawab, n milih ikut UAS Matstat double aja. Meski tetep aja susah jawab, UAS aja efeknya cuma buat pribadi. :D Jawab pertanyaan anak, salah jawab, efeknya seumur hidup!
Bukan, bukan pertanyaan darimana datangnya adek bayi. Itu mah jawabannya udah saya siapin dari sebelum mereka lahir. Dan kebeneran mereka gak pernah nanya, karena, pas kantor si ayah baru beli alat lab, yang isinya perkembangan janin umur 1 sampai 9 bulan di rahim Ibu, mereka udah saya jelasin. Pun juga gambar rahim di posisi tubuh Ibu. Dan yang paling terakhir, gak sengaja masuk lab perawat yang isinya phantom Ibu melahirkan. Komplit dah visualisasinya, untung cowok anaknya. Kalo cewek, kayanya stress deh liat itu semua. Lalu, lalu, lalu? Ini tentang mas kawin. Si anak bertanya apakah mas kawin itu, setelah berulang kali dia datang ke akad nikah. Dia bertanya "mahal sekali ya mas kawin itu, nanti aku bisa menikah ngga ya bu?" Uh, rasanya kaya apa gitu, ikhlas gak ikhlas jawabnya. Ya jangan kepikiran nikah dulu kenapa sih, temenin Ibu dulu. Lagian kamu kan masih SD. Hehehe... tapi kan harus di jawab. :( "Ya bisalah.... kan nanti udah kerja, insyaallah bisa memberikan mas kawin yang pantas...." jawab saya. "Kalau nanti mintanya yang aku gak bisa, gimana?" "Ya sebetulnya mas kawin itu sebisa mungkin juga tidak memberatkan. Kalau memang dirasa berat, coba ditawar. Pasti bisa lah dikomunikasikan, kalian nanti kan sudah dewasa. Kalau ngga bisa juga, ya berarti belum berjodoh. Cari lagi." Saya kadang penasaran sama tetangga sebelah. Apa mereka berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan kaya gini ya dari si sembilan tahunnya? "Dulu Ibu waktu menikah dikasih mas kawin apa sama Ayah?" "Cincin...." jawab saya. "Ih, murah sekali...." *jleb, ini anak ampun deh ah* "Semoga nanti aku mendapatkan jodoh seperti Ibu, yang mau menikah denganku, mas kawinnya cincin aja...." Errr.... ummm.... sana sekolah, kuliah, kerja dulu! Nanti kita baru ngobrol-ngobrol lagi, okeee.... *sambil melirik si Ayah yang senyum-senyum gak jelas gitu.... ini juga Bapak-bapak, turun tanganlah pada pertanyaan-pertanyaan sulit begini! :D Belajar hidup itu belajar tentang keseimbangan. Untuk setiap kelebihan yang dititipkan pada manusia, dilengkapi dengan paket ujiannya.
Bisa jadi, orang yang bahagia itu, yang telah lulus dari banyak paket ujian. Batas toleransinya terhadap rasa sedih, rasa sakit, rasa kecewa, melebar. Lebih banyak bersyukur, yang akan membawanya terhadap rasa bahagia. Dan pada akhirnya, orang-orang yang bahagia itu akan menganggap semua permasalahan dunia itu sederhana, bukankah ia telah melewati yang sebelum-sebelumnya? Di warung bakso, bersama sahabat. Datang seorang nenek, memesan bakso. Setelah baksonya datang, ada saja yang kurang. Kurang sayur, kurang asin, kurang ini, kurang itu. Si pelayan dimarahi habis-habisan, dengan kata-kata yang tidak pantas. Saya saja risih mendengarnya.
Sungguh luar biasa hati sang pelayan. Untuk 10000 rupiah saja dia harus menahan semua ucapan itu. (Kalau saya, apa bisa sesabar itu?) Kemudian bercermin, melihat kecenderungan saya yang suka mengkritisi segala sesuatu. Menghela nafas dan berkata dalam hati "Semoga tua nanti, saya tak seperti nenek itu" Teman, apa daily wear favoritmu?
Sewaktu saya hamil anak pertama, ibu mertua saya memberikan oleh-oleh sebuah daster dari Bali. Baju itu sangat nyaman sekali untuk dikenakan. Utamanya, karena dia mampu berkompromi dengan ukuran perut saya yang makin hari makin membesar. Cuaca di Kendari yang panas, suhu tubuh yang meningkat selama hamil, menjadikan daster itu adalah baju wajib, cuci kering pakai, yang hampir selalu saya kenakan. (Sebelum menikah daily wear saya adalah kaos + celana pendek, kostum wajib ternyaman sedunia pada masanya). Saya baru rela melepas daster itu untuk beralih fungsi menjadi lap kaca, setelah tidak ada bagian yang bisa diperbaiki lagi. Jahit yang kiri, sobek di kanan, dan kainnya menjadi rapuh termakan detergen. Sampai sekarang pun begitu. Menurut penilaian saya, daster itu adalah jenis baju ajaib, yang semakin lama dikenakan, semakin nyaman. Tentu saja saya punya lingerie, punya piyama, punya kaos dan celana pendek, tetapi ketika harus memilih mana yang ingin saya kenakan, pilihan saya adalah kepada salah satu daster. Hehehe… Semoga baju-baju yang lain tidak menjadi iri karenanya. Di meja kopi suatu hari, dalam rangka me time bersama beberapa teman, terjadi diskusi singkat. Mengenai penampilan di depan suami. Awalnya, dari salah satu curhat sahabat yang sedang mengalami prahara di rumahnya. Dan sahabat yang lain mengingatkannya dengan “Elu sih, ga pernah dandan di depan suami. Di rumah jangan dasteran mulu makanya…” Saya jadi berpikir. Kok dasternya yang disalahkan? =) Bukan saya kalau ngga ngeyel dengan apa yang jadi kesukaan saya dong. Menurut saya, pasangan hidup itu sebaiknya ya seperti daster itu. Semakin lama, semakin nyaman. Semakin saling mengerti, saling memahami. Tapi masalahnya, bisa ngga kita, menjadi seperti daster? Memberikan kenyamanan seiring berjalannya waktu. Pernah ngga sih denger becandaan, enaknya punya suami itu arkeolog. Semakin tua istrinya, semakin bernilai di matanya =) Sayangnya kita sering lupa. Lupa untuk membuat pasangan kita merasa nyaman ada di dekat kita. Dengan perasaan bahwa komitmen mampu untuk menangani segalanya. Kan sudah berkomitmen untuk bersama, suka ngga suka ya udah terimain aja. Dan akhirnya, seperti daster yang dijahit kiri, sobek yang kanan, rapuh dimakan waktu. Jadi, komitmen untuk bersamanya yang disalahkan? Hehe… Kalau ngga ada komitmen, yang ada jadi seperti baju sekali pakai. Sudah selesai kegunaannya, besok ganti lagi. Mungkin komitmennya seharusnya diganti menjadi komitmen untuk mau saling mengerti dan saling memahami, bukan hanya sekedar bersama. Ah tapi teman, sayapun hanya mampu menuliskannya saja. Bukan berarti saya sudah berhasil meniru sifat si daster tadi. Tetapi mencoba memotivasi diri sendiri, semoga saya, seiring berjalannya waktu, mau lebih mengerti, mau lebih memahami, dan bisa membuat pasangan saya tetap nyaman bersama saya. Kembali ke pertanyaan semula, apa daily wear favoritmu? Hello again...
Beberapa pekan terakhir saya ingin menuliskan ini. Terkait dengan apa yang saya rasakan, dan semua curhat yang mendarat sukses di bbm, email, sms, dan social media lainnya. =) Ada apa tentang 30? Di ulangtahun saya ke-20 saya membuat target apa yang harus saya lakukan sebelum usia 30. Seingat saya, targetnya adalah menikah dan memiliki dua anak, dan bisa melanjutkan s2. Target sederhana yang saya pertimbangkan saya bisa mencapainya. Jadi, di ulangtahun saya ke-30, saya bersyukur kepada Allah SWT, karena atas izinnya target sederhana itu tercapai. Alhamdulillah. Apa target saya sebelum usia 40? Hehe... Nanti kita buat notes lagi tentang itu. Bagi saya pribadi, mecapai usia tigapuluh itu seperti bergabung ke sebuah klub, dimana klub itu mensyaratkan harus berusia 30. Suatu lompatan dari merasa berusia duapuluhan (alias muda) ke usia tigapuluhan (alias dewasa -> menolak dibilang tua). Dan ketika masa itu tiba, saya berkata "Akhirnya, saya tigapuluh juga..." dan beberapa teman terdekat menyampaikan "Welcome to the club! Thirty rock!". Saya mencoba mengamati, apa yang teman-teman saya, sahabat-sahabat saya rasakan, pada masa peralihan ini. Para sahabat saya yang wanita dan masih lajang, biasanya pada tahapan mengalami kebosanan untuk menjawab pertanyaan "Kapan kawin?". Seakan-akan wanita yang masih melajang pada usia 30 adalah suatu kejahatan atau ketidaknormalan yang harus segera diatasi. Ada yang bilang, di atas usia 30 beresiko untuk punya anak. Hmm.. coba lihat artikel ini. Menurut saya, (jikapun ini bisa dianggap sebagai kerugian) selisih usia yang terpaut jauh antara anak dan ibunya membuat adanya generation gap di antara keduanya. Tapi ini bisa diperbaiki dengan komunikasi yang lebih baik kan? Dan untuk pilihan metode persalinan, di dunia kedokteran berkembang metode persalinan yang bisa mengatasi kekhawatiran ini. Ketahuilah resikonya, konsultasi, dan serahkan selebihnya pada Allah SWT. Ada yang menyalahkan, kamu sih terlalu pemilih. Lucu yaa, kalau kita mau menghabiskan hidup dengan hanya satu orang saja sepanjang hayat, pastinya milih-milih kan? Masa iya teriak di pasar dan berkata "Ada yang mau menikah dengan saya?" Bahwa tidak ada orang yang sempurna, itu sudah bukan rahasia. Tapi dalam hal ini, prinsip saya adalah "OPTIMASI" alias minimum risk. Alih-alih mencari yang sesuai dengan kriteria saya, saya memilih *daftar sifat jelek* yang menurut saya, bisa saya terima. Yaa, kalau kita bisa menerima kekurangan seseorang, sudah pasti kita bisa menerima kelebihannya, kan? Jadi daripada menyalahkan mereka yang katanya pemilih itu, bagaimana kalau merekomendasikan teman, kenalan, relasi, sahabat, yang kira-kira cocok untuk teman kita itu? Ada yang sampai pada tahap keputusasaan "Ya udah Fa, cariin siapa aja deh yang penting seiman. Cape gw ditanya-tanyain terus!" Dan yang pastinya diprotes ketika saya bilang "Kalau gitu, pergi aja ke masjid sehabis sholat Jumat, dan tanya satu-satu, mau ngga nikah sama saya?" Hehehe... Berdasarkan pengalaman, pertanyaan itu, engga akan ada habisnya. Belum nikah, ditanya "Kapan nikah?". Sudah nikah, ditanya "Kok belum punya anak?". Sudah punya anak 1, ditanya "Kapan nih ada adiknya?". Sudah ada adiknya ditanya lagi, "Tambah dong, kan belum ada anak perempuannya..." -> LOL. nanti kalau itu semua dipenuhin akan nanya apalagi yaaaa? Terus terus terus, harus gimana? Tanya hati kecil kita, mau apa di usia ini. Kalau masih betah melajang, ya tinggal kuatkan hati. Kalau mau mulai untuk mencari pasangan, prinsip minimum risk, boleh tuh dicoba. ;-) Kalau berhasil, share yaaa... What's next? Bagi saya, permasalahan dengan menjadi 30 ini sepertinya adalah kalo jerawatan, bekasnya itu perlu waktu lebih lama untuk hilang. Walaupun si mami bilang "jangan khawatir, itu hanya di lapisan luar kulit" rasanya risih melihat bintik-bintik hitam menghiasi wajah di dalam cermin -> hahaha... solusi: berhenti ngaca! -< Jadi, buat saya, usia 30 itu jadi semacam 'warning' untuk mau mulai perduli sama perawatan muka. Hohoho... ga ada lagi cerita males-malesan bersihin muka... rasakan sendiri akibatnyaaa... -> hiks hiks hiks Selain itu, apa lagi? *bisik-bisik* Susah mengontrol berat. Pada dekade sebelumnya, naik turun berat itu rasanya mudah saja. At this moment? Haduh. Masih belum punya solusi untuk ini. Ada sih keywordnya, OLAHRAGA. Tapi masih kena virus em a el a es. ^_^V Lalu, lalu, apalagi? Untuk yang menikah di awal duapuluhan (seperti saya misalnya), usia tigapuluhan adalah awal dari masa-masa merasakan 'generation gap'. Mulai dari mencoba memahami apa maksud dari *ciyuus miapah*, *enelan?*, *ah, sepiiikkk*, dan membandingkan, seperti apa kita di usia itu? Wohohoho... menjelang anak-anak memasuki abg, adalah moment-moment dimana ortu merasa galau =D Harus bagaimana yaa menyikapi ini? *dan masa deg-degan pun telah saya mulai dengan resmi ketika membaca sms di ponsel anakku...* Seperti juga masa-masa 'duapuluh' saya, saya yakin, masa 'tigapuluh' ini akan saya kenang nanti. Dengan tersenyum, menertawakan kekonyolan dan ketidakbijaksanaan yang saya buat. Dan pada akhirnya, mengakui, bahwa pertambahan usia dan tuntutan lingkungan terhadapnya, dapat mengubah cara berpikir kita. Beberapa orang melabeli itu dengan KEDEWASAAN. Jadi, apa arti tigapuluhan untukmu, teman? Share yaa... ^_^V Saya tidak menulis notes ini untuk menghakimi siapapun. Hanya sekedar berbagi.
Sahabat saya dalam ceritanya berkata, "Emang ga boleh gitu, gw cape, gw bosen, ngurus anak terus?" Sejenak saya terdiam. Bertanya-tanya, apa yang dimaksud si kawan ini. Sekedar 'me time' kah yang dia butuhkan? Kami di sini, duduk bersama, dengan secangkir kopi. Ini saja mungkin belum cukup. Tanpa sadar saya menjawab "Tahu ngga? Seandainya anak-anak pun boleh memilih orangtuanya sebelum ia lahir ke dunia, belum tentu dia memilih kita lho sebagai orangtuanya..." Sahabat saya pun terlihat tidak nyaman dengan pernyataan saya ini. Dengan masih menggenggam cangkir kopi saya, saya masih melanjutkan cerita. "Sebagai orangtua kita masih bisa memilih, mau atau tidak punya anak, siapa yang akan bertanggungjawab pada anak, perlu atau tidak perduli pada anak. Dan seterusnya. Sementara anak kita, suka ngga suka, dihadapkan pada kita, orangtuanya. Kenapa kita ngga mencoba lebih adil pada mereka?" "Maksud lo apa sih?" Sergah sahabat saya ini. "Belajar mendengarkan mereka. Meski belum bisa bicara sekalipun, atau ngga paham dengan apa yang kita ceritakan, sesungguhnya mereka selalu mendengarkan. Belajar memahami keinginan mereka, bukan untuk memaksakan apa yang kita pikir mereka inginkan. Belajar berteman dengan mereka, karena kita meminjam dunia ini dari mereka..." Sahabat saya masih juga tidak puas. "Iya, tapi bukan berarti ngga boleh cape kan?" Kali ini saya tersenyum... "Ya boleh aja sih cape. Tapi emangnya anak lu ngga cape gitu punya ortu kaya elu?" Pulang ke rumah, saya peluk si sulung. Dan saya pun bertanya, "Kak... Cape ngga sih jadi anak Ibu?" :-) Dia tertawa, lebar sekali. "Ibu itu bawel sih, tapi Alif sayang kok sama Ibu..." Rasanya, penat hari ini, hilang di detik itu juga. Yap, resolusi berikutnya, lebih banyak bersabar dan lebih banyak mendengarkan! Selamat malam semuanya... Waktu pulang ke Bandung kemarin, si mamie bilang, "Si Uni mah telat jadi perempuannya. Dulu mana mau dia ngerjain urusan perempuan, kasih boneka, dicuekin, kasih radio dan baterai, baru deh cengar-cengir..." Hahaha...
Sungguhkah saya terlambat *jadi perempuan*? Jujur saja, saya memang tidak punya banyak sahabat perempuan. Itu lagi, itu lagi. SMA, kelas 1 sama Nena, juga sama para *pandawa* Atew, Mira, Irma, Gian (yang mereka masih aja ngumpul bareng sampai sekarang, sementara saya terdampar di bagian Indonesia yang lain, hehehe) Bekerja, saya juga menarik diri dari *urusan perempuan*. Apa pasal? Please deh, itu dokumen setumpuk nunggu untuk di entry, jadwal ke lapangan susul menyusul, jaringan nunggu untuk dibenerin, belom lagi teriak dari ujung-ke-ujung "Mbaaak Alfaaaa... Komputerku kok ga bisa nge print?" dan password sakti "Mbaaakk Alfaaaaaaa" lainnya yang mengindikasikan ada situasi darurat yang perlu ditangani *halah, lebay!*. Yang paling urgent itu, urusan mesin absen, download data, rekap, kenapa? Sampai pengajuan uang makan telat, kasian bendahara dicemberutin. Selanjutnya, aplikasi gaji dan aplikasi keuangan. Siapa yang mau perduli kalau dibilang, "Maaf, telat gajian gara-gara system nya error". Hehehe... Jadilah buat saya agenda demo masak, demo-demo lainnya tidak masuk urutan kegiatan yang *boleh* dilakukan di kantor. Kuliah. Hehe... Masih inget dengan saya yang di STIS. Rambut panjang semaunya yang nyaris ga pernah kena sisir, bahkan ga ada yang tau kali kalo rambut saya panjang kali ya, mengingat selalu ada jepit rambut nangkring di situ =D jepit mandi malah *yang kemudian suatu saat nanti ini di protes mba endang* Tahukah teman? Bahwa saya berhasil mengenakan kerudung segi empat saya ketika kuliah di ITS. Sebelumnya, yang saya beli selalu bergo dan bergo, juga untuk alasan praktis, kalau bisa 1 menit, kenapa perlu 10 menit? *alesan aja padahal* Keberhasilan itu buah dari ngintipin mbak Ina dan mbak Lulu setiap pagi, saat mereka bersiap-siap menuju ke kampus. Seriously, saya memperhatikan mereka, setiap langkahnya. ^_^V Betapa C-12 itu menyenangkan. Ditambah Medical Centre ITS yang punya klinik perawatan kulit yang punya paket facial murmer, heuheu... *merindukan ITS* Setelah menikah, seminggu dari resepsi, saya harus berangkat ke Kendari. Flight tengah malam waktu itu. Apa yang saya lakukan? Menelpon Tante Katz dengan panik... "Tante... You have to come here. Urgent. My flight is about 2 hours from now." Si tante yang tergopoh-gopoh dateng ke rumah pun bertanya, "Ada apa? Sakit?" Ditimpali dengan saya yang tersenyum lebar, "Fix my eyebrow, please... Ini gimana mau keluar rumah, alis separo begini?* Wkwkwk... Right now, saya belajar mengenakan eye liner dengan benar, bagaimana mengaplikasikan blush on dengan benar, tanpa ada kesan seseorang habis menampar pipimu. Terimakasih pada buku, google, dan youtube (sebentar lagi puasa google dan youtube nya selesai, fiuh...) Setidaknya sekarang saya tau fungsi dari masing-masing kuas (yang dulu saya bingung, bagaimana mungkin ada sebanyak ini, dan apa aja sih fungsinya? Whew) Sekarang, bersama dua sahabat perempuan saya, Nena dan Mba Ocha, kami sedang menjalankan misi. Misi makan enak tapi murah (xixixixi), belajar make up gratisan (sharing info apa aja yang mungkin dan sudah berhasil dilakukan), jualan untuk menambah pendapatan (well, agak susah mengurangi pengeluaran, jadi pendapatannya aja yang ditambah deh). Kemarin, di tengah-tengah suntuknya menghadapi setumpuk bahan ujian (sebenarnya notes ini dibuat juga dalam keadaan suntuk, mari refreshing dengan menulis, =D), ada bbm dari Nena. * Mau ikutan sulam alis ga lu? Sepupu gw nawarin, murah..." - (ting tung, ingatan melayang pada Saipul Jamil dan Dewi Persik yang abis sulam bibir) He? Sulam alis? Kaga ada yang salah ama alis gw kok, fine-fine aja * Iya, biar ga usah pake pensil alis lagi... - Hihihi... Patungan gitu? Jadi entar sulamnya, elu separo, gw separo, mba ocha separo, xixixixi... * Wew, entar bisa pilih, mau bentuk alis gimana n warna apa... - Seriously?!? Waw... Gimana kalo ikut trend jaman sekarang itu... Serba rainbow, ntar alis lu rainbow juga aja. Kan nyentrik... Hmmm... Setelah saya pikir-pikir lagi, banyak bener ya urusan perempuan ini. Repot bener kalau mau dipikirin semuanya. Hmmm... Ah sudahlah, saya begini saja, selama tetap cantik di mata alif, attar, dan ayahnya alif dan attar, sudah cukup. Hahahaha... Tapi, target saya selanjutnya, dalam *urusan perempuan* ini adalah belajar merajut (sebetulnya saya suka kerajinan tangan, ada beberapa kerajinan yang tertarik untuk saya pelajari, tapi yang akan mendapatkan prioritas pertama adalah yang berpeluang menambah penghasilan tentunya, xixixixixi), dan belajar masak. Sebelum ada yang protes, itu sudah diniatkan ya belajar masak. Pelaksanaannya kapan, nanti saya pikir-pikir lagi =D *from bogor with love, di tengah-tengah catatan teori statistika, daaaannn... kembali tenggelam dengan buku. Selamat malam semuanya. * judulnya kaya status relationship
Seorang teman (NHTW) menantang saya, menceritakan satu topik yang biasanya saya hindari. Ah, mengapa juga ia meminta saya menulisnya, dia kan tidak harus mengalami pilihan-pilihan itu... Menarik sekali, karena paginya, tiba-tiba status teman saya yang lain sepertinya menggambarkan keadaan itu. Keadaan yang diminta NHTW agar saya menuliskannya dalam sebuah notes! Menjadi sebuah dokumentasi resmi akan apa yang saya rasakan. (berfikir untuk kabur, lebih sulit menjawabnya dari ujian komperehensif! hehehe...) NHTW meminta saya menceritakan bagaimana rasanya menjadi alfa, ibu dan pns... (aggghhhh... unlike this!) seandainya ketiga subjek tersebut tidak saling beririsan di dalam diri ini, saya sih cuek-cuek aja akan menanggapi ketiganya satu per satu. Sayangnya, tidak mungkin NHTW mau menguji saya dengan masalah sesimple itu. Tepat sekali, ia ingin mengetahui bagaimana rasanya dilema seorang ibu yang bekerja sebagai pns dengan segala problematika birokrasinya, yang kebetulan dia ketahui bahwa saya adalah tukang protes yang keras kepala terutama disaat saya 'merasa' benar. *sigh* Harus mulai dari mana? Menjawab ini saja sudah sulit... Tapi teman, sepertinya tulisan ini juga tidak akan pernah selesai jika saya terus mengeluh. Baiklah. tarik nafas dulu, biar kaya sandiwara radio di RRI Seumur hidup, saya tidak pernah bercita-cita menjadi PNS. Kakek saya dari pihak ibu pns. Nenek saya dari pihak ayah pns. Dan keduanya buat saya adalah pns yang dapat saya banggakan. Kenapa? Karena mereka anti KKN. Kakek saya mantan kepala pegadaian, kalau dia mau, bisa saja dia masukkan anaknya menjadi pegawai pegadaian, tapi dia tidak melakukannya. Nenek saya seorang dokter yang juga merupakan penilik sekolah kejuruan, berkali-kali saya lihat dia menolak menerima parcel, bahkan menolak membuatkan surat keterangan sakit, jika pasiennya tidak benar-benar sakit. (om saya bilang, makanya nenek saya ngga bisa kaya, soalnya terlalu jujur, =P) Jika demikian, seharusnya saya punya role model yang bagus untuk menjadi pns. Namun, saya terlanjur muak dengan image pns. Selain kebanggaan saya pada kakek dan nenek, saya tahu mereka berjuang melawan idealismenya masing-masing, dan itu tidak mudah. Apalagi dengan jabatan yang pernah mereka sandang. Belum lagi, ketika usia sudah mulai menginjak 17 tahun, yang mewajibkan saya memiliki tanggungjawab administratif terhadap negara ini, yaitu memiliki Kartu Tanda Penduduk, membuat saya berurusan dengan birokrasi yang melelahkan. Sungguh, saya tidak pernah bercita-cita jadi pns karenanya. Orang-orang bilang, "Kan enak, Fa. Jadi PNS santai... banyak waktu luangnya..." Well, saya 'ngga tuh. Bahkan teman-teman saya seprofesi juga banyak yang kehabisan waktu. Coba bayangkan, jika semua orang menjadi pns bukan karena ingin berpartisipasi dalam pelayanan publik, tapi karena pendapatan tetap dan banyak waktu luang yang menjadi motivasi, 'ngga heran kalo tiap kali razia mall ada aja yang mengenakan seragam pns. Lha kerjanya untuk cari waktu luang kok... Yup, management waktu saya memang buruk, karena saya gemas melihat orang-orang yang selalu menunda pekerjaan. Sedangkan saya, jika ada pekerjaan saya yang tertunda hari ini, itu berarti saya harus mengatur ulang prioritas pekerjaan esok hari, yang seringkali menempati skala prioritas "harus segera dilaksanakan" karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Akhirnya, jarang sekali saya bisa pulang kantor on time. =( Menjadi alfa. Ini juga bukan sesuatu yang saya cita-citakan. Karakter itu katanya merupakan bentukan, bukan warisan. Entah bagaimana caranya menceritakan bagaimana rasanya menjadi alfa kepada teman-teman semua. Yang pasti, semua orang punya masalah. Saya merasa hidup saya ini tidak mudah, tapi saya tak pernah ingin bertukar kehidupan dengan orang lain. Sampai saat ini saya percaya bahwa apa yang terjadi pada saya adalah kombinasi dari kejadian terbaik yang mungkin terjadi pada saya. (sebenarnya ini juga sedikit terpengaruh oleh film Butterfly Effects, seandainya kita diberikan kuasa untuk mengubah keadaan pun, tidak ada yang bisa menjamin bahwa keadaan itu akan membuat perasaan kita menjadi lebih baik). Mungkin, jika saya tidak pernah melakukan kesalahan, saya tidak akan pernah bisa menghargai kebenaran. Mungkin, jika saya tidak pernah merasa terpuruk dan jatuh, saya tidak akan pernah mengerti apa pentingnya ketegaran. Mungkin, jika saya tak pernah sedih dan menangis, saya tidak pernah mengetahui betapa indahnya bahagia. Tak ada manusia yang sempurna, bukan? To live is to learn. Tidakkah kawan, dan saya juga, menginginkan tuk menjadi manusia yang lebih baik lagi? Namun begitulah, menjadi alfa yang kadang terlalu keras hati menghadirkan suatu konfilk, apalagi biasanya dengan mahluk tuhan dengan atribut manusia. Salah satu atasan saya pernah berkata, "Kamu itu emang cocoknya bekerja sama mesin aja. Jadi cuma ngertinya black or white aja... Kalo ngurusin orang, grey area nya banyak banget. Dan kamu ga bisa memaksa, meminta, atau berharap, semua orang mau mengerti apa yang kamu pikirkan. Walaupun kamu tahu kamu benar." --> ini nih yang bikin hidup jadi ribet, terlalu banyak toleransinya, baik untuk hal-hal yang prinsip sekalipun! Yah, begitulah, terutama untuk orang-orang yang agak sedikit konservatif, saya cenderung dianggap menyebalkan. Hehe... I get used of it! Jadi paling yang bisa saya katakan hanya berkata, "Baru tahu kalo saya nyebelin?" sambil ngeloyor pergi. --> baru sampai dua peran, silahkan bayangkan sendiri bagaimana rasanya menjadi saya 'di dalam' birokrasi. Menjadi ibu. Jika kebanyakan orang berkata bahwa menjadi ibu adalah kodratnya seorang wanita, saya berfikir bahwa menjadi ibu adalah pilihan. (beruntunglah semua yang dalam hidupnya selalu mempunyai pilihan, setidaknya ia tidak pernah menjalani suatu keterpaksaan, life is about making a choice, DB bilang, enjoy the risks... =) ) Cita-cita saya adalah menikah muda. Dengan harapan, waktu anak-anak membutuhkan saya sebagai teman ceritanya, teman curhatnya, perbedaan generasi antara saya dan anak saya tidak terlalu jauh, sehingga saya bisa lebih mudah mengambil posisi dalam usaha memahami mereka. Yup, saya berharap dapat menjadi teman bagi anak-anak saya. Sampai saat ini saya masih sering mempertanyakan, bisakah saya menjadi ibu? (terlepas dari semua komentar orang-orang di sekitar saya yaa...) Rasanya tugas seorang ibu itu beraaaaaatttttt sekali. Jauh lebih berat dari tugas saya sebagai pns. Jangankan untuk mempertanyakan diri bisakah saya menjadi ibu. Kadang saya malah masih sering bertanya, "Am I really a woman?" Hehehe... Jika image 'wanita' yang ada di masyarakat adalah harus bisa memasak, harus bisa mengurus rumahtangga, harus bisa mempercantik diri, wah... aduuuhhh... kayanya saya jauh-jauh dulu deh dari cermin. =) Pada saat lelah berfikir, mungkin dari awal saya salah, cita-cita saya adalah menjadi teman dari anak-anak saya. Padahal, peran saya seharusnya adalah menjadi ibu dari anak-anak saya. (muncul masalah baru, ya udah Fa, sekalian aja, jadi ibu juga menjadi teman, begitu seorang kawan memberi saran...) --> talk is always easy, my dear friend... Namun demikian, keraguan saya selalu sirna saat kedua bajaklaut saya memeluk dan berkata, "Alif sayang ibu... Attar sayang ibu..." yang kemudian, dengan harus menahan haru, berusaha menjelaskan keadaan ibunya yang bekerja ketika salah satu mulai berkata, "Attar suka ada ibu... makanya, ibu jangan pergi-pergi terus..." Be honest, kadang ingin meninggalkan dua peran sebelumnya dan tetap berada di peran ini saja. Bagian yang cukup sulit untuk saya ceritakan. Teman, pengalaman hidup mengajarkan saya bahwa wanita harus bisa mandiri secara finansial. Agar, jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, tidak kehilangan sumber pencari nafkah. Dan kebutuhan-kebutuhan rumah tangga bisa terpenuhi. Salah satu sahabat saya pernah bertanya, "Memangnya kamu ngga percaya bahwa rejeki kamu itu ada di suami kamu, Fa?" Buat saya itu adalah dua hal yang berbeda. Saya percaya, bahwa suami saya adalah seseorang yang bertanggungjawab, dan berusaha memenuhi kebutuhan keluarganya. Tapi tetap, kembali lagi, pengalaman hidup mengajarkan saya bahwa wanita harus bisa mandiri secara finansial. Cerita ini tidak akan pernah berakhir. Akan banyak argumen. Perbedaan kepentingan. Untuk menyingkatnya, kesimpulan saya adalah, tidak akan pernah mudah, membagi peranan-peranan dalam kehidupan yang harus kita jalani. Tapi bukan berati kita harus menyerah kan? Dalam setiap peranan, pasti ada yang dikorbankan, termasuk juga diri sendiri. Ketika harus memilih, buatlah pilihan yang bertanggungjawab, karena tidak hanya kita yang akan menerima akibat dari pilihan kita. Ketika sudah memilih? Enjoy the risks... thanks to NHTW for challenging me; and DB, i like the part: enjoy the risks kalau ada yg mau didiskusikan, di comment, atau di part two yaaaaa... =) 20 10 2009 12 11 |
AuthorSebagian dari teman saya sepakat bahwa saya adalah type orang yang "segala dipikirin", karenanya, saya mencoba untuk menuliskan apa saja yang saya pikirkan itu. Archives
February 2018
Categories
All
|